Senin, 04 Januari 2016

Embun di Tanah Tandus



Debu berterbangan dengan lembut menyelimuti lapangan tanpa rumput, anak-anak tanpa baju itu berlari riang mengejar bola usang, setidaknya itu dapat membuat mereka melupakan sejenak segala penderitaan yang senantiasa hadir tanpa henti dalam hari-hari mereka. Radius 100 meter, lapangan itu dikelilingi oleh gubuk-gubuk dan tenda pengungsian, terdengar rengekan dari salah satu gubuk,
“Bang, lapar, kapan makan, perut Elhan sakit.” Rengek anak kecil berbadan kurus dengan usia kisaran 7 tahun, bernama Nur Elhan.
“Iya bang, Bibi nggak tahan lagi, perut Bibi perih.” Tambah adiknya yang 2 tahun lebih muda, Nur Bibi namanya.
Rengekan kedua adik perempuannya membuat Farid Alam tambah bingung dan kalut, mau dimana lagi ia harus mencari makanan untuk adik-adiknya, semua persediaan makanan telah habis terbakar pasca serangan kaum Budhist Myanmar dan juga para tentara nasional 4 hari lalu.
”Tunggu sebentar ya, abang cari makanan dulu, nggak lama kok.” Jawab Farid sebelum ia berlari keluar gubuk.
Ia berlari tanpa tujuan mencari apa yang bisa dimakan untuk kedua adiknya, belum kering semburat luka dihatinya setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayah dan ibunya dibakar hidup-hidup ketika empat hari lalu secara tiba-tiba kaum Budhist merangsek masuk ke pemukiman mereka, lalu menghabisi segala yang ada, rumah, gubuk, tenda, mushollah, bahkan anak-anak kecil tidak sedikit yang akhirnya terbunuh secara tragis.
“Farid..!” seseorang memanggil, membuat Farid mencari asal suara.
“Bhakye Zaw (Paman Zaw)?” bisik lirih Farid setelah menemukan sumber suara, yang selanjutnya memutuskan untuk menghampiri, berharap lewat Paman Zawlah Allah memberikan pertolongan.
“Kau sedang mencari makanan untuk adikmu ya?” Tanya Paman Zaw
“Iya.” Jawab singkat Farid dengan nafas tersengal-sengal
“Kebetulan, aku punya sedikit beras yang bisa kau gunakan untuk makan adikmu, tapi sebelum itu aku juga butuh bantuanmu untuk membenarkan gubukku ini.” Jelas paman Zaw
“Ah baiklah Bhakye.” Jawab girang Farid
“Baguslah, kalau begitu kau ambil dua genggam beras di belakang, lalu kau pulang dan beri adikmu makan, setelah itu kau kembali kemari untuk membantuku.”
“Iya Bhakye, terimakasih.” Sahut Farid yang langsung mengambil beras, dan berlari sekuat tenaga dengan dua genggam beras di tangannya, senyumpun terlukis indah di wajahnya.
“Abang, lapar…” sambut kedua adiknya tatkala Farid menginjakkan kaki di selasar gubuk mereka.
“Sabar ya, Allhamdulillah ini ada beras sedikit, kita masak ya.” Jawab Farid menanggapi rengekan adiknya.
Segera saja mereka semua menuju sudut ruangan, tempat yang dulu biasa ibu mereka gunakan untuk memasak, dan kini tidak ada lagi sosok Ibu yang biasanya memasakkan makanan untuk mereka, yang walaupun sederhana, namun tetap terasa lezat karena direngkuh akan rasa kekeluargaan, kenangan itu masih kental tergenang di sudut ingatan Farid yang sedang sibuk menanak nasi, beberapa butir beras terjatuh ke lantai tanah, yang sigap adiknya mengutipi beras itu untuk segera dilahapnya karena sudah tidak tertahankan lagi rasa lapar yang mereka rasakan.

***
                Penderitaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar memang tidak bisa pandang sebelah mata, konflik yang memuncak di bulan Juli 2012 antara Rohingya (Muslim) dengan penduduk mayoritas Rakhine telah memberikan dampak yang meluas ke dalam kehidupan politik dan kehidupan umat beragama di Myanmar, pemerintah Myanmar tidak lagi mengakui Rohingya sebagai warna Negara dan sebagai etnis yang eksis di Myanmar. Sistemical Operation yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha 969. Kelompok ekstrimis ini dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis-etnis minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. Rangkaian peristiwa di Arakan yang dialami oleh Rohingya semakin membuka mata dunia bahwa peristiwa yang terpelihara selama beberapa dekade tersebut bukan merupakan konflik sosial semata, melainkan ada agenda besar untuk menghapuskan etnis Rohingya dari bumi  Arakan dan upaya eliminasi Islam dari tanah Myanmar. Eliminasi ini dilakukan oleh kelompok 969 yang didukung oleh pemerintah Myanmar. Eliminasi dimulai dari basis Islam terbesar di Myanmar, yaitu Arakan (Rakhine), kemudian Meikhtila, Yangon, dan daerah basis Islam lainnya di Myanmar. Kelompok ekstrimis ini tidak lagi hanya menyerang eksistensi Rohingya di Arakan, namun juga keseluruhan Muslim di Myanmar. Terbukti dari kebrutalan kelompok ini telah menewaskan sebanyak 400 lebih muslim Meikhtila dan 100 lebih diantaranya adalah anak-anak yang “dipenggal” dan digantung secara keji oleh kelompok ekstrimis tersebut. Diskriminasi yang berujung pada upaya eliminasi etnis Rohingya di arakan sudah dimulai sejak adanya perjanjian penyatuan etnis di Myanmar pada tahun 1947 dalam rangka menyongsong kemerdekaan Myanmar tahun 1948, dimana saat itu etnis Rohingya tidak ikut dilibatkan dan tidak ikut menandatangi Perjanjian Persatuan tersebut.
”Bagaimana, apakah adik-adikmu sudah kau beri makan?” Tanya paman Zaw disela-sela kesibukannya memperbaiki gubuknya.
“Allhamdulillah sudah Bakhye, sekarang mereka sedang tidur, sudah berjam-jam mereka menangis.” Jawab Farid yang sedang membantu Paman Zaw.
“Lebih bersabarlah dalam menjalani cobaan Allah ini Farid, jangan terlalu kau ratapi kepergian Ayah dan Ibumu, InsyaAllah mereka tergolong syahid.”
“Tapi…. terkadang aku benar-benar merasa geram dengan segala perbuatan pemerintah Myanmar Bakhye, bukannya melindungi, malah sama kejinya dengan kaum Budhist itu.” Kalimat terlontar dengan tatapan kosong Farid.
“Pemerintah Myanmar memang sudah terang-terangan menyatakan etnis kita tidak termasuk etnis Myanmar, dengan kata lain, kita sudah tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, mau tak mau segala siksaan harus kita rasakan, sampai sekarangpun bantuan nyata dari Negara lain belum ada, seakan mereka menutup mata atau memang ditutupipun Bakhye tidak tahu.”
Sejenak mereka saling menatap kosong
”Sebenarnya ada yang mau Bakhye katakan padamu Farid.” Sambung Bakhye Zaw setelah menghentikan sejenak pekerjaannya.
“Apa Bakhye?” Tanya Farid dengan heran menggumpal di benaknya.
“Bakhye dan beberapa penduduk lain besok akan pergi dari tempat ini, kami memutuskan untuk keluar dari Myanmar, terserah kemana yang penting lepas dari segala bentuk penindasan, biar bagaimanapun kita harus hijrah demi keselamatan kita, terlebih demi keselamatan etnis kita.” Jelas Bakhye dengan nada serius.
“Kita keluar dari Myanmar? Tapi tetap tidak ada jaminan kita bisa hidup tenang, kita belum tahu tujuan, kita akan tekatung-katung di laut lepas, kalaupun kita terdampar di negeri orang, kita tidak lantas mendapat perlakuan baik, banyak dari kita akan dijadikan budak Bakhye.”
“Itu lebih baik ketimbang terus menerus ditindas seperti ini, sudah lebih dari 4000 pemukiman yang mereka hancurkan dalam sekali serangan, belasan tempat ibadah kita juga tidak luput dari kekejaman mereka, walau Bakhye telah mengikhlaskan, tapi masih nyaring terdengar di telinga, suara jeritan anak dan istri Bakhye ketika dibakar hidup-hidup oleh mereka, melawanpun kita tidak punya kekuatan, datanglah besok selesai Shalat Shubuh, pikirkan keselamatan adik-adikmu.” Tutup Bakhye setelah menyuruh Farid untuk pulang.

***
                Sudah 5 hari perahu kecil itu terapung di atas lautan tanpa tujuan, perahu yang seharusnya hanya  berkapasitas 10 orang pada akhirnya hanya mampu bungkam menampung 37 orang, persediaan makanan sudah tidak ada sama sekali, 3 hari lalu mereka tertangkap oleh tentara angkatan laut Myanmar yang menjaga perbatasan, seperti biasa, mereka digiring kepulau terpencil terdekat, lalu semua bahan makanan seadanya hasil patungan penduduk yang menumpang perahu diambil habis oleh tentara Myanmar, tidak cukup sampai disitu bahan bakar perahupun tidak luput dari objek jarahan, setelah itu mereka kembali dilepas kelaut, dengan tujuan akan mati secara perlahan-lahan di atas laut, tanpa makanan dan tanpa bahan bakar mesin perahu. Kembali pecahlah tangisan Nur Elhan dan Nur Bibi, merekalah penumpang paling muda dalam perahu itu setelah Farid Alam memutuskan untuk ikut dengan rencana pamannya, berdiam di tanah Myanmarpun hanya menambah luka yang menganga pikirnya.
“Bang, kita mau kemana? Bibi lapar.”
“Elhan juga bang, Elhan kangen Ibu sama Ayah.”
“Bakhye, bagaimana ini?” Tanya Farid, dengan raut wajah kalut.
“Bersabarlah, tenangkan adik-adikmu, kita hanya bisa berharap dapat menemukan pulau untuk segera berlabuh dan mencari bahan makanan.” Jawab salah seorang wanita tua penumpang perahu.
Belum tenang suara rengekan Elhan dan Bibi, datang suara yang lebih mengejutkan, suara tembakan.
“Itu tentara Thailand, kita telah masuk perbatasan Thailand.” Kata salah seorang penumpang pria.
“Merunduk..!!” Suara keras Bakhye memberikan instruksi.
Seluruh penumpang perahu riuh ketakutan, inilah sebenarnya yang ditakutkan Bakhye dalam perjalanan, setiap kali imgran gelap Rohingya memasuki perbatasan Thailand, para tentara penjaga tidak segan-segan melepaskan tembakan bertubi-tubi.
“Dorr!” Salah seorang penumpang terkena tembakan tepat di dada sebelah kiri, membuatnya tumbang terkapar. Disusul lima penumpang lain termasuk wanita tua tadi yang mayatnya langsung tercebur kedalam laut.
“Farid, lindungi adik-adikmu.” Perintah Bakhye
Nur Elhan dan Nur Bibi hanya bisa meringkuk ketakutan, dan saat Nur Bibi mencoba melihat keadaan…
“Doorr!” peluru mengenai kepala sebelah kanan Nur Bibi, tepat di matanya.
“Bibii…!” Farid menjerit keras memeluk adiknya yang tidak bernyawa lagi.
“Farid, jaga Elhan..!” Bentak Bakhye sembari terus mendayung perahu.
Belum sempat direngkuh, takdir telah masuk waktunya, perut Nur Elhan terkena peluru tembakan, darah menyembur dengan derasnya.
“Bang, Elhan rindu Ibu dan Ayah, Elhan udah nggak lapar kok, Elhan duluan ya.” Kalimat terakhir mengalir dari mulutnya ditemani darah yang keluar kental.
“Elhaan…!” suara keras Farid keluar diimbangi dengan air mata yang deras mengalir.
Masih saja Farid memeluk kedua mayat adiknya, tidak memperdulikan disekelilingnya telah banyak mayat bergelimpangan penuh darah, termasuk mayat Bakhye Zaw yang lehernya telah tertembus peluru sedari tadi.
Farid memutuskan untuk mendayung perahu menjauh dari jangkauan tentara Thailand, sekelebat mata liar mencari gagang dayung, hanya tinggal dia yang tersisa, digenggamnya dayung, dengan tenaga seadanya Farid mulai mendayung, dan
“Dorr..!” bahu kirinya tertembak, ia masih bisa mendayung dengan tertatih, ia tidak ingin adik-adiknya dimakamkan di laut, ia terus mendayung, namun ternyata, malaikat maut telah duduk manis menemaninya sejak keberangkatan dari Myanmar.
“Doorr, Doorr, Doorr..!” Tiga peluru mengenai kepalanya.
Pria berkulit hitam dengan rambut pendek, bertubuh tegap itu kini tidak bernyawa, 37 orang etnis Rohingya yang mencoba mencari kedamaian dan kebahagiaan akhirnya berakhir di atas lautan.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.