Kamis, 31 Desember 2015

Ridhai Aku Ibu



Suasana rumah itu menjadi gaduh, tidak seperti biasanya. Semua anggota keluarga berkumpul, tapi tidak sepenuhnya itu yang menjadi alasan keributan dirumah itu.
"Nak, Ibu mohon, fikirkan lagi rencanamu itu, perubahanmu yang seperti saja sudah membuat Ibu cukup stres."
Ibu Inun tertatih mengikuti anaknya Abdul yang berjalan dengan cepatnya dari dapur menuju kamar, dari kamar menuju ruang tamu, dan dari ruang tamu kembali lagi menuju kamar yang dengan sigap merapikan beberapa potong pakaian kedalam tas ransel berukuran besar itu, sambil tak hentinya meneteskan bening air mata, Ibu Inun terus memohon kepada Abdul.
"Maaf Bu, aku terlanjur menemukan jalanku dan aku juga terlanjur memutuskan untuk menapaki jalan yang sudah kupilih apapun yang terjadi ." jawab Abdul dengan suara lembut.
"Baik, Ibu ikhlaskan semua perubahanmu ini, tapi tolong tarik kembali rencanamu yang ingin pergi ke tanah Palestin, Ibu tidak akan ikhlas nak, tolong pahami perasaan Ibu." Dengan nafas tersengal-sengal Ibu Inun memohon kepada anaknya.
"Tidakkah kau punya hati nurani, tidakkah hatimu yang keras itu terbasuh air mata Ibu yang sudah berulang kali memberi penjelasan untukmu, urungkanlah niatmu itu Abdul, tinggallah tetap disini dan jalani hidup seperti pemuda kampung layaknya." Rini kakak Abdul ikut membujuk.
Percekcokan itu sebentar berhenti, hanya suara tangisan Ibu Inun yang terdengar, dengan tubuh gempalnya iya terduduk lemas disamping kaki Abdul, sementara disudut kamar, anak kecil berumur 2 tahun berdiri memegang boneka koala yang tak lain anak dari Rini, dengan polos menonton semua kejadian itu tanpa tau maksud semua yang dilihatnya, raut sedih diwajahnya lebih dikarenakan melihat pamannya Abdul sedang berkemas, yang artinya mau pergi, sementara tidak ada pertanda dia mau diajak.
"Maaf, untuk kesekian kalinya ku ucapkan pada Ibu yang telah rela dan sabar menghadapi segala keegoisanku, dan Kak Rini yang terus menghadapi keras kepalaku, tapi aku sudah memilih jalan ini, jalan yang membuatku merasa tenang ketika menjalaninya, dan merasa murka ketika ada yang berani mengusik agamaku, aku tidak merasa cukup kalau hanya berdiam disini, menyerukan berbagai kecaman tidak berguna, melakukan aksi dijalanan yang sama sekali tidak menggetarkan hati orang-orang dipemerintahan, sementara nyawa dan darah saudara semuslim kita disana terus menjadi camilan bagi moncong-moncong roket manusia-manusia zionis tak bermoral, aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri darah tentara-tentara Iblis itu mengalir, aku ingin sekali merasakan dengan tanganku sendiri, daging tentara-tentara Iblis itu robek dan tertembus peluru para syuhada, aku juga sudah muak dengan segala tingkah mereka yang telah mengobrak-abrik negara-negara Islam termasuk negara kita, sudah berapa jumlah pemuda-pemuda Islam yang telah mereka obrak-abrik aqidahnya lewat perang fikiran yang mereka lakukan dengan begitu sistematisnya, dan apa yang dilakukan oleh umat Islam kebanyakan Bu? Kak? Mereka semua tenggelam oleh kemegahan duniawi, seakan-akan apa yang mereka lakukan tidak akan pernah dimintai pertanggungjawabannya kelak, hidup tidak hanya cukup bangun pagi lalu pergi kesawah sampai senja menjelang, lalu pulang dan istirahat sampai pagi kembali datang, hidup tidak bisa sesederhana itu Bu, tolong pahami semua ini, aku tahu pemahaman kalian belum sampai kesitu, tapi jangan salahkan pemahamanku yang sudah berlari terlalu jauh, tapi justru karena itu, sepucuk hatiku menjadi tau, jalan lurus yang telah dipersiapkan Allah untukku yang selama ini telah dipenuhi semak belukar, maka mulai sekarang, ridhai aku Bu untuk menapaki jalan itu, InsyaAllah suatu saat akan Abdul tuntun Ibu untuk bersama kita menapaki jalan lurus Allah, kalaulah Ayah masih ada, Aku yakin ia akan paham akan semua ini." panjang Abdul menjelaskan.
Hanya tangisan pilu dari Ibu Inun yang dapat menjawab semua penjelasan panjang lebar anaknya Abdul Fatah, gurat wajah dan tiap tetes air mata yang jatuh kelantai seakan menyiratkan makna bahwa tetap saja Ibu Inun tidak rela anaknya pergi. Bagaimana tidak, Abdul adalah satu-satunya anak laki-laki yang ia punya, sedari dalam kandungkan, buaian, pangkuan dan tuntunan, ia membesarkannya dengan penuh kasih sayang, masih begitu lekat dalam ingatannya, ketika Abdul masih belajar berjalan, berkali-kali ia jatuh dan menangis namun ditanggapi tawa oleh Ibu Inun dan suaminya, tiap hari minggu Abdul selalu dibawa jalan-jalan di pinggiran sawah, bersama Ibu Inun dan Suaminya, juga kakaknya Rini.
Semakin umur bertambah, mengganggu kakaknya yang sedang belajar merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan Abdul ketika berumur 4 tahun, sampai akhirnya Abdul tumbuh menjadi remaja yang aktif, hari-hari ia jalani seperti anak remaja kebanyakan, sekolah, keluar rumah ntah kemana, lalu pulang, dan waktu malam dihabiskannya untuk belajar, ibadah juga cukup terjaga, namun tidak dapat dipungkiri, kecerdasannya dalam berfikir melebihi anak-anak seusianya, Abdul sangat kritis terhadap hal-hal yang terkadang sama sekali tidak terfikirkan oleh orang lain, bahkan oleh gurunya di sekolah, ia suka berkumpul dengan teman-temannya untuk diskusi hal apapun, hal ini ditanggapi biasa oleh Ibunya, sampai datang kabar bahwa ayahnya mengalami kecelakaan, itu adalah hari yang begitu memilukan bagi keluarga Bu Inun, sampai kesedihan itu larut bagai garam dalam air minum, kehidupan Ibu Inun dijalani dengan rasa yang begitu asin, sering kali kesedihan itu menusuk hati Ibu Inun tatkala merindukan suaminya, kalau sudah begitu, Abdul selalu hadir merengkuh Ibunya dan membuat rasa rindu yang membeku menjadi luruh, itulah mengapa Bu Inun sangat menyayangi Abdul, karena hanya Abdul yang menemaninya sehari-sehari, terlebih ketika Rini memutuskan untuk tinggal bersama suaminya, suka duka sering dilewati bersama anak tersayangnya itu, Abdul Fatah, Abdul seringkali menanyakan banyak hal kepada Ibunya, khususnya dalam hal agama, agama yang ia yakini
"Bu, kenapa Islam dianggap sebagai agamanya para teroris?"
"Dari mana kau dapat berita seperti itu Nak?" tanya Bu Inun dengan heran.
"Itu sudah menjadi pandangan umum masyarakat dunia Bu, lihat saja ketika ada penangkapan teroris di Tv, yang paling fokus di sorot kamera pasti selalu Al-Qur'an, kitab-kitab karya para ulama besar seperti Riyadush Salihin, kitab Fiqih, Kitab Hadist, dan lain sebagainya, seakan-akan semua itu ingin menyampaikan bahwa semakin kita beriman kepada Allah, semakin besar kemungkinan kita menjadi teroris, dan dalam banyak film Hollywood setiap peran teroris selalu diperankan oleh orang Arab, Ibu perhatikan saja kalau tidak percaya." jelas Abdul.
"Ibu pun tidak bisa menjawab banyak Nak, suatu saat kamu pasti akan mendapatkan jawabannya, yang jelas, Islam tidak seburuk yang mereka pandang." jawab singkat Bu Inun.
"Suatu saat, Abdul ingin sekali menjadi orang yang berada dalam barisan terdepan orang yang membela Islam Bu, kata Pak Ustadz nanti kita akan menjadi syuhada." ucap Abdul dengan mata berkaca-kaca dan raut wajah begitu semangat.
"Silahkan Nak, tapi untuk saat ini tetaplah berada di samping Ibu, semenjak kepergian ayahmu, Ibu merasa sangat kesepian, kakakmu pun jarang pulang, cukuplah menjadi anak yang senantiasa merengkuh Ibumu yang semakin ringkih ini."
"InsyaAllah Bu, akan aku lakukan." jawab Abdul singkat.
Waktu terus merayap, berganti, sampai tiba masa Abdul terlihat begitu antusias dengan segala hal yang berbau Islam, tiap hari ia habiskan waktunya untuk berdiskusi dengan orang-orang paham agama, untuk sekedar membahas berbagai hal mengenai Islam, berbagai organisasi islam pun diikutinya, sampai pada hari terucapnya kalimat yang begitu membuat hati Ibu Inun bak gunung yang siap memuntahkan segala apa yang ada didalamnya, hatinya seakan hendak rubuh dan hancur berserakan, kakinya serasa tak mampu lagi menopang berat tubuhnya, ia sungguh tak menyangka anak yang paling disayanginya akan mengutarakan hal itu.
"Ibu, Abdul ingin ke Palestina, ada organisasi yang siap menghantarkan relawan kesana, Allhamdulillah berbekal hafalan Al-Qur'an 28 Juz, InsyaAllah Abdul bisa masuk kedalam kelompok pejuang disana, mohon ridhai Abdul ya Bu."
Dengan rasa haru biru, yang berkecamuk menjadi satu, Ibu Inun berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, sampai ia teringat akan pesan suaminya dulu.
"Inun, aku tidak bisa menjamin akan terus bisa menemanimu mengarungi kehidupan di bumi Allah ini, bisa saja suatu saat nanti aku yang akan berpulang duluan menikmati gelap dan sunyinya liang lahat disana, dan kalau itu benar terjadi, aku titip Abdul kepadamu, jaga dia sebaik mungkin, ikhlaskan kepergianku. Aku percaya Abdul akan menemanimu tatkala kau merasa rindu, aku juga ingin berpesan pilihkan suami yang baik untuk Rini kelak, jika aku tak sempat melihatnya menikah, dan yang perlu kau tau, seberapa besar bakti Abdul kepadamu nanti, jangan pernah untuk terus mengekangnya, tolong berikan dia kebebasan untuk menentukan jalannya, dan beri ridhamu untuknya. Pegang pesanku ini dengan baik, karena suatu saat kau pasti akan mengingat semua apa yang aku katakan, dan ketika itu terjadi, maka putuskanlah sesuai hati nuranimu."
Sekelebat kenangan itu menjamah ingatan Ibu Inun yang langsung tersadar melihat anaknya Abdul sudah hendak berangkat, lalu bersujud bersimpuh dipangkuan Ibu Inun sambil menangis dengan begitu memilukan.
"Ibuu, aku sungguh sangat menyayangimu, aku sungguh sangat mencintaimu, engkau telah begitu tulus membesarkan aku dengan tangan malaikatmu, dengan hatimu yang kuanggap sebagai potongan cahaya surga Allah, aku masih begitu ingat betapa lembut engkau belai rambutku ketika aku hendak mau tidur, betapa bening senyummu tatkala aku menangis meminta sebuah mainan, betapa bening peluhmu saat menyajikan makanan untukku, yang bagiku itu adalah makanan terlezat yang pernah kulahap, aku sungguh sangat ingin berbakti kepadamu, namun untuk kali ini, izinkan aku berbakti kepada saudara semuslim ku, saudara semuslim kita, semua keindahan yang pernah terajut indah dalam rumah ini InsyaAllah akan kembali kita rasakan kelak di surga, bersama ayah, kak Rini, aku dan Ibu, hapus air matamu Bu, gunakan air matamu itu untuk mendoakan keselamatan ataupun kepergianku, aku hanya mohon ridhamu untuk ku anakmu Ibu." Abdul memohon dengan tangis begitu pilu.
Dengan deraian air mata yang menyayat hati siapa saja yang melihat, Ibu Inun pun menjawab.
"Pergilah Nak."
"Ibu...?" Rini bertanya heran.
"Pergilah, Ibu Ridhai engkau terbang ketanah para Nabi, Ibu akan berusaha mengikhlaskan kepergianmu sebagaimana Ibu mengikhlaskan kepergian ayahmu, biarlah Ibu sendiri disini, Kak Rini bisa beberapa tahun sekali melihat Ibu, jaga keselamatan dan kesehatanmu disana ya Nak," air mata Bu Inun terus mengucur. "mungkin Ibu memang tidak bisa berada disampingmu, tapi yakinlah Doa Ibu akan terus merengkuh tubuhmu, pulanglah Nak jika ada kesempatan, Ibu akan senantiasa menunggumu dirumah ini, sekalipun dengan kerinduan yang teramat sangat, akan Ibu masak makanan terbaik untuk menyambutmu jika pulang kelak, tapi kalaupun kau tak pernah pulang, juga tak apa, Ibu tunggu kau disurga kelak bersama ayahmu. Kuatkan hatimu ya nak, mungkin Ibu tidak bisa lagi memelukmu disana tatkala kau merindukan Ibu, pergilah, Ridhaku aku berikan untuk mengiringi kepergianmu."
Suasana haru begitu menusuk tajam pada tiap hati mereka, pada akhirnya Abdul pun melangkah pasti meninggalkan rumah, dengan tangisan yang begitu berat, Ibu Inun dan Rini melepas kepergian Abdul, yang terus berjalan dengan pasti, kini hanya tinggal kamar itulah yang menjadi saksi bisu haru biru itu, semua kenangan terkatup rapi disudut kamar itu.
Selesai




“Jadilah pemuda Muslim tegar yang akan menjadi mata pedang agama, kuatkan pundakmu untuk menopang amanah, bak rerumputaan hijau menopang embun bening pagi hari. Bersahaja hangat bak sinar mentari pagi tatkala matahari tersipu malu terbit dari ufuk timur, berkepribadian sederhana berbalut keindahan, bak cahaya senja tatkala matahari tumbang terbenam di ufuk barat.” -M T Nasution-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.