Suasana rumah itu menjadi gaduh,
tidak seperti biasanya. Semua anggota keluarga berkumpul, tapi tidak sepenuhnya
itu yang menjadi alasan keributan dirumah itu.
"Nak, Ibu mohon, fikirkan
lagi rencanamu itu, perubahanmu yang seperti saja sudah membuat Ibu cukup
stres."
Ibu Inun tertatih mengikuti
anaknya Abdul yang berjalan dengan cepatnya dari dapur menuju kamar, dari kamar
menuju ruang tamu, dan dari ruang tamu kembali lagi menuju kamar yang dengan
sigap merapikan beberapa potong pakaian kedalam tas ransel berukuran besar itu,
sambil tak hentinya meneteskan bening air mata, Ibu Inun terus memohon kepada
Abdul.
"Maaf Bu, aku terlanjur
menemukan jalanku dan aku juga terlanjur memutuskan untuk menapaki jalan yang
sudah kupilih apapun yang terjadi ." jawab Abdul dengan suara lembut.
"Baik, Ibu ikhlaskan semua
perubahanmu ini, tapi tolong tarik kembali rencanamu yang ingin pergi ke tanah
Palestin, Ibu tidak akan ikhlas nak, tolong pahami perasaan Ibu." Dengan
nafas tersengal-sengal Ibu Inun memohon kepada anaknya.
"Tidakkah kau punya hati
nurani, tidakkah hatimu yang keras itu terbasuh air mata Ibu yang sudah
berulang kali memberi penjelasan untukmu, urungkanlah niatmu itu Abdul,
tinggallah tetap disini dan jalani hidup seperti pemuda kampung layaknya."
Rini kakak Abdul ikut membujuk.
Percekcokan itu sebentar
berhenti, hanya suara tangisan Ibu Inun yang terdengar, dengan tubuh gempalnya
iya terduduk lemas disamping kaki Abdul, sementara disudut kamar, anak kecil
berumur 2 tahun berdiri memegang boneka koala yang tak lain anak dari Rini,
dengan polos menonton semua kejadian itu tanpa tau maksud semua yang
dilihatnya, raut sedih diwajahnya lebih dikarenakan melihat pamannya Abdul
sedang berkemas, yang artinya mau pergi, sementara tidak ada pertanda dia mau
diajak.
"Maaf, untuk kesekian
kalinya ku ucapkan pada Ibu yang telah rela dan sabar menghadapi segala
keegoisanku, dan Kak Rini yang terus menghadapi keras kepalaku, tapi aku sudah
memilih jalan ini, jalan yang membuatku merasa tenang ketika menjalaninya, dan
merasa murka ketika ada yang berani mengusik agamaku, aku tidak merasa cukup
kalau hanya berdiam disini, menyerukan berbagai kecaman tidak berguna,
melakukan aksi dijalanan yang sama sekali tidak menggetarkan hati orang-orang
dipemerintahan, sementara nyawa dan darah saudara semuslim kita disana terus
menjadi camilan bagi moncong-moncong roket manusia-manusia zionis tak bermoral,
aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri darah tentara-tentara Iblis
itu mengalir, aku ingin sekali merasakan dengan tanganku sendiri, daging
tentara-tentara Iblis itu robek dan tertembus peluru para syuhada, aku juga
sudah muak dengan segala tingkah mereka yang telah mengobrak-abrik
negara-negara Islam termasuk negara kita, sudah berapa jumlah pemuda-pemuda
Islam yang telah mereka obrak-abrik aqidahnya lewat perang fikiran yang mereka
lakukan dengan begitu sistematisnya, dan apa yang dilakukan oleh umat Islam
kebanyakan Bu? Kak? Mereka semua tenggelam oleh kemegahan duniawi, seakan-akan
apa yang mereka lakukan tidak akan pernah dimintai pertanggungjawabannya kelak,
hidup tidak hanya cukup bangun pagi lalu pergi kesawah sampai senja menjelang,
lalu pulang dan istirahat sampai pagi kembali datang, hidup tidak bisa
sesederhana itu Bu, tolong pahami semua ini, aku tahu pemahaman kalian belum
sampai kesitu, tapi jangan salahkan pemahamanku yang sudah berlari terlalu
jauh, tapi justru karena itu, sepucuk hatiku menjadi tau, jalan lurus yang
telah dipersiapkan Allah untukku yang selama ini telah dipenuhi semak belukar,
maka mulai sekarang, ridhai aku Bu untuk menapaki jalan itu, InsyaAllah suatu
saat akan Abdul tuntun Ibu untuk bersama kita menapaki jalan lurus Allah,
kalaulah Ayah masih ada, Aku yakin ia akan paham akan semua ini." panjang Abdul
menjelaskan.
Hanya tangisan pilu dari Ibu Inun
yang dapat menjawab semua penjelasan panjang lebar anaknya Abdul Fatah, gurat
wajah dan tiap tetes air mata yang jatuh kelantai seakan menyiratkan makna
bahwa tetap saja Ibu Inun tidak rela anaknya pergi. Bagaimana tidak, Abdul
adalah satu-satunya anak laki-laki yang ia punya, sedari dalam kandungkan,
buaian, pangkuan dan tuntunan, ia membesarkannya dengan penuh kasih sayang,
masih begitu lekat dalam ingatannya, ketika Abdul masih belajar berjalan,
berkali-kali ia jatuh dan menangis namun ditanggapi tawa oleh Ibu Inun dan
suaminya, tiap hari minggu Abdul selalu dibawa jalan-jalan di pinggiran sawah,
bersama Ibu Inun dan Suaminya, juga kakaknya Rini.
Semakin umur bertambah,
mengganggu kakaknya yang sedang belajar merupakan pekerjaan rutin yang
dilakukan Abdul ketika berumur 4 tahun, sampai akhirnya Abdul tumbuh menjadi
remaja yang aktif, hari-hari ia jalani seperti anak remaja kebanyakan, sekolah,
keluar rumah ntah kemana, lalu pulang, dan waktu malam dihabiskannya untuk
belajar, ibadah juga cukup terjaga, namun tidak dapat dipungkiri, kecerdasannya
dalam berfikir melebihi anak-anak seusianya, Abdul sangat kritis terhadap
hal-hal yang terkadang sama sekali tidak terfikirkan oleh orang lain, bahkan
oleh gurunya di sekolah, ia suka berkumpul dengan teman-temannya untuk diskusi
hal apapun, hal ini ditanggapi biasa oleh Ibunya, sampai datang kabar bahwa
ayahnya mengalami kecelakaan, itu adalah hari yang begitu memilukan bagi
keluarga Bu Inun, sampai kesedihan itu larut bagai garam dalam air minum,
kehidupan Ibu Inun dijalani dengan rasa yang begitu asin, sering kali kesedihan
itu menusuk hati Ibu Inun tatkala merindukan suaminya, kalau sudah begitu,
Abdul selalu hadir merengkuh Ibunya dan membuat rasa rindu yang membeku menjadi
luruh, itulah mengapa Bu Inun sangat menyayangi Abdul, karena hanya Abdul yang
menemaninya sehari-sehari, terlebih ketika Rini memutuskan untuk tinggal
bersama suaminya, suka duka sering dilewati bersama anak tersayangnya itu,
Abdul Fatah, Abdul seringkali menanyakan banyak hal kepada Ibunya, khususnya
dalam hal agama, agama yang ia yakini
"Bu, kenapa Islam dianggap
sebagai agamanya para teroris?"
"Dari mana kau dapat berita
seperti itu Nak?" tanya Bu Inun dengan heran.
"Itu sudah menjadi pandangan
umum masyarakat dunia Bu, lihat saja ketika ada penangkapan teroris di Tv, yang
paling fokus di sorot kamera pasti selalu Al-Qur'an, kitab-kitab karya para
ulama besar seperti Riyadush Salihin, kitab Fiqih, Kitab Hadist, dan lain
sebagainya, seakan-akan semua itu ingin menyampaikan bahwa semakin kita beriman
kepada Allah, semakin besar kemungkinan kita menjadi teroris, dan dalam banyak
film Hollywood setiap peran teroris selalu diperankan oleh orang Arab, Ibu
perhatikan saja kalau tidak percaya." jelas Abdul.
"Ibu pun tidak bisa menjawab
banyak Nak, suatu saat kamu pasti akan mendapatkan jawabannya, yang jelas,
Islam tidak seburuk yang mereka pandang." jawab singkat Bu Inun.
"Suatu saat, Abdul ingin
sekali menjadi orang yang berada dalam barisan terdepan orang yang membela
Islam Bu, kata Pak Ustadz nanti kita akan menjadi syuhada." ucap Abdul
dengan mata berkaca-kaca dan raut wajah begitu semangat.
"Silahkan Nak, tapi untuk
saat ini tetaplah berada di samping Ibu, semenjak kepergian ayahmu, Ibu merasa
sangat kesepian, kakakmu pun jarang pulang, cukuplah menjadi anak yang
senantiasa merengkuh Ibumu yang semakin ringkih ini."
"InsyaAllah Bu, akan aku
lakukan." jawab Abdul singkat.
Waktu terus merayap, berganti,
sampai tiba masa Abdul terlihat begitu antusias dengan segala hal yang berbau
Islam, tiap hari ia habiskan waktunya untuk berdiskusi dengan orang-orang paham
agama, untuk sekedar membahas berbagai hal mengenai Islam, berbagai organisasi
islam pun diikutinya, sampai pada hari terucapnya kalimat yang begitu membuat
hati Ibu Inun bak gunung yang siap memuntahkan segala apa yang ada didalamnya,
hatinya seakan hendak rubuh dan hancur berserakan, kakinya serasa tak mampu
lagi menopang berat tubuhnya, ia sungguh tak menyangka anak yang paling
disayanginya akan mengutarakan hal itu.
"Ibu, Abdul ingin ke
Palestina, ada organisasi yang siap menghantarkan relawan kesana,
Allhamdulillah berbekal hafalan Al-Qur'an 28 Juz, InsyaAllah Abdul bisa masuk
kedalam kelompok pejuang disana, mohon ridhai Abdul ya Bu."
Dengan rasa haru biru, yang
berkecamuk menjadi satu, Ibu Inun berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri,
sampai ia teringat akan pesan suaminya dulu.
"Inun, aku tidak bisa
menjamin akan terus bisa menemanimu mengarungi kehidupan di bumi Allah ini,
bisa saja suatu saat nanti aku yang akan berpulang duluan menikmati gelap dan
sunyinya liang lahat disana, dan kalau itu benar terjadi, aku titip Abdul
kepadamu, jaga dia sebaik mungkin, ikhlaskan kepergianku. Aku percaya Abdul
akan menemanimu tatkala kau merasa rindu, aku juga ingin berpesan pilihkan
suami yang baik untuk Rini kelak, jika aku tak sempat melihatnya menikah, dan
yang perlu kau tau, seberapa besar bakti Abdul kepadamu nanti, jangan pernah
untuk terus mengekangnya, tolong berikan dia kebebasan untuk menentukan
jalannya, dan beri ridhamu untuknya. Pegang pesanku ini dengan baik, karena
suatu saat kau pasti akan mengingat semua apa yang aku katakan, dan ketika itu
terjadi, maka putuskanlah sesuai hati nuranimu."
Sekelebat kenangan itu menjamah
ingatan Ibu Inun yang langsung tersadar melihat anaknya Abdul sudah hendak
berangkat, lalu bersujud bersimpuh dipangkuan Ibu Inun sambil menangis dengan
begitu memilukan.
"Ibuu, aku sungguh sangat
menyayangimu, aku sungguh sangat mencintaimu, engkau telah begitu tulus
membesarkan aku dengan tangan malaikatmu, dengan hatimu yang kuanggap sebagai
potongan cahaya surga Allah, aku masih begitu ingat betapa lembut engkau belai
rambutku ketika aku hendak mau tidur, betapa bening senyummu tatkala aku
menangis meminta sebuah mainan, betapa bening peluhmu saat menyajikan makanan
untukku, yang bagiku itu adalah makanan terlezat yang pernah kulahap, aku
sungguh sangat ingin berbakti kepadamu, namun untuk kali ini, izinkan aku
berbakti kepada saudara semuslim ku, saudara semuslim kita, semua keindahan
yang pernah terajut indah dalam rumah ini InsyaAllah akan kembali kita rasakan
kelak di surga, bersama ayah, kak Rini, aku dan Ibu, hapus air matamu Bu,
gunakan air matamu itu untuk mendoakan keselamatan ataupun kepergianku, aku
hanya mohon ridhamu untuk ku anakmu Ibu." Abdul memohon dengan tangis
begitu pilu.
Dengan deraian air mata yang
menyayat hati siapa saja yang melihat, Ibu Inun pun menjawab.
"Pergilah Nak."
"Ibu...?" Rini bertanya
heran.
"Pergilah, Ibu Ridhai engkau
terbang ketanah para Nabi, Ibu akan berusaha mengikhlaskan kepergianmu
sebagaimana Ibu mengikhlaskan kepergian ayahmu, biarlah Ibu sendiri disini, Kak
Rini bisa beberapa tahun sekali melihat Ibu, jaga keselamatan dan kesehatanmu
disana ya Nak," air mata Bu Inun terus mengucur. "mungkin Ibu memang
tidak bisa berada disampingmu, tapi yakinlah Doa Ibu akan terus merengkuh
tubuhmu, pulanglah Nak jika ada kesempatan, Ibu akan senantiasa menunggumu
dirumah ini, sekalipun dengan kerinduan yang teramat sangat, akan Ibu masak makanan
terbaik untuk menyambutmu jika pulang kelak, tapi kalaupun kau tak pernah
pulang, juga tak apa, Ibu tunggu kau disurga kelak bersama ayahmu. Kuatkan
hatimu ya nak, mungkin Ibu tidak bisa lagi memelukmu disana tatkala kau
merindukan Ibu, pergilah, Ridhaku aku berikan untuk mengiringi
kepergianmu."
Suasana haru begitu menusuk tajam
pada tiap hati mereka, pada akhirnya Abdul pun melangkah pasti meninggalkan
rumah, dengan tangisan yang begitu berat, Ibu Inun dan Rini melepas kepergian
Abdul, yang terus berjalan dengan pasti, kini hanya tinggal kamar itulah yang
menjadi saksi bisu haru biru itu, semua kenangan terkatup rapi disudut kamar
itu.
Selesai
“Jadilah pemuda Muslim tegar yang
akan menjadi mata pedang agama, kuatkan pundakmu untuk menopang amanah, bak
rerumputaan hijau menopang embun bening pagi hari. Bersahaja hangat bak sinar
mentari pagi tatkala matahari tersipu malu terbit dari ufuk timur,
berkepribadian sederhana berbalut keindahan, bak cahaya senja tatkala matahari
tumbang terbenam di ufuk barat.” -M T Nasution-
0 komentar:
Posting Komentar