Debu berterbangan dengan lembut
menyelimuti lapangan tanpa rumput, anak-anak tanpa baju itu berlari riang
mengejar bola usang, setidaknya itu dapat membuat mereka melupakan sejenak
segala penderitaan yang senantiasa hadir tanpa henti dalam hari-hari mereka. Radius
100 meter, lapangan itu dikelilingi oleh gubuk-gubuk dan tenda pengungsian,
terdengar rengekan dari salah satu gubuk,
“Bang, lapar, kapan makan, perut
Elhan sakit.” Rengek anak kecil berbadan kurus dengan usia kisaran 7 tahun,
bernama Nur Elhan.
“Iya bang, Bibi nggak tahan lagi,
perut Bibi perih.” Tambah adiknya yang 2 tahun lebih muda, Nur Bibi namanya.
Rengekan kedua adik perempuannya
membuat Farid Alam tambah bingung dan kalut, mau dimana lagi ia harus mencari
makanan untuk adik-adiknya, semua persediaan makanan telah habis terbakar pasca
serangan kaum Budhist Myanmar dan juga para tentara nasional 4 hari lalu.
”Tunggu sebentar ya, abang cari
makanan dulu, nggak lama kok.” Jawab Farid sebelum ia berlari keluar gubuk.
Ia berlari tanpa tujuan mencari apa
yang bisa dimakan untuk kedua adiknya, belum kering semburat luka dihatinya
setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayah dan ibunya
dibakar hidup-hidup ketika empat hari lalu secara tiba-tiba kaum Budhist
merangsek masuk ke pemukiman mereka, lalu menghabisi segala yang ada, rumah,
gubuk, tenda, mushollah, bahkan anak-anak kecil tidak sedikit yang akhirnya
terbunuh secara tragis.
“Farid..!” seseorang memanggil,
membuat Farid mencari asal suara.
“Bhakye Zaw (Paman Zaw)?” bisik
lirih Farid setelah menemukan sumber suara, yang selanjutnya memutuskan untuk
menghampiri, berharap lewat Paman Zawlah Allah memberikan pertolongan.
“Kau sedang mencari makanan untuk
adikmu ya?” Tanya Paman Zaw
“Iya.” Jawab singkat Farid dengan
nafas tersengal-sengal
“Kebetulan, aku punya sedikit beras
yang bisa kau gunakan untuk makan adikmu, tapi sebelum itu aku juga butuh
bantuanmu untuk membenarkan gubukku ini.” Jelas paman Zaw
“Ah baiklah Bhakye.” Jawab girang
Farid
“Baguslah, kalau begitu kau ambil
dua genggam beras di belakang, lalu kau pulang dan beri adikmu makan, setelah
itu kau kembali kemari untuk membantuku.”
“Iya Bhakye, terimakasih.” Sahut
Farid yang langsung mengambil beras, dan berlari sekuat tenaga dengan dua
genggam beras di tangannya, senyumpun terlukis indah di wajahnya.
“Abang, lapar…” sambut kedua adiknya
tatkala Farid menginjakkan kaki di selasar gubuk mereka.
“Sabar ya, Allhamdulillah ini ada
beras sedikit, kita masak ya.” Jawab Farid menanggapi rengekan adiknya.
Segera saja mereka semua menuju
sudut ruangan, tempat yang dulu biasa ibu mereka gunakan untuk memasak, dan
kini tidak ada lagi sosok Ibu yang biasanya memasakkan makanan untuk mereka,
yang walaupun sederhana, namun tetap terasa lezat karena direngkuh akan rasa
kekeluargaan, kenangan itu masih kental tergenang di sudut ingatan Farid yang
sedang sibuk menanak nasi, beberapa butir beras terjatuh ke lantai tanah, yang
sigap adiknya mengutipi beras itu untuk segera dilahapnya karena sudah tidak
tertahankan lagi rasa lapar yang mereka rasakan.
***
Penderitaan
yang dialami etnis Rohingya di Myanmar memang tidak bisa pandang sebelah mata, konflik
yang memuncak di bulan Juli 2012 antara Rohingya (Muslim) dengan penduduk
mayoritas Rakhine telah memberikan dampak yang meluas ke dalam kehidupan
politik dan kehidupan umat beragama di Myanmar, pemerintah Myanmar tidak lagi
mengakui Rohingya sebagai warna Negara dan sebagai etnis yang eksis di Myanmar.
Sistemical Operation yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya
adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha 969. Kelompok ekstrimis ini
dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis-etnis
minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. Rangkaian peristiwa di Arakan
yang dialami oleh Rohingya semakin membuka mata dunia bahwa peristiwa yang
terpelihara selama beberapa dekade tersebut bukan merupakan konflik sosial
semata, melainkan ada agenda besar untuk menghapuskan etnis Rohingya dari bumi Arakan dan upaya eliminasi Islam dari tanah
Myanmar. Eliminasi ini dilakukan oleh kelompok 969 yang didukung oleh
pemerintah Myanmar. Eliminasi dimulai dari basis Islam terbesar di Myanmar,
yaitu Arakan (Rakhine), kemudian Meikhtila, Yangon, dan daerah basis Islam
lainnya di Myanmar. Kelompok ekstrimis ini tidak lagi hanya menyerang
eksistensi Rohingya di Arakan, namun juga keseluruhan Muslim di Myanmar.
Terbukti dari kebrutalan kelompok ini telah menewaskan sebanyak 400 lebih
muslim Meikhtila dan 100 lebih diantaranya adalah anak-anak yang “dipenggal”
dan digantung secara keji oleh kelompok ekstrimis tersebut. Diskriminasi yang
berujung pada upaya eliminasi etnis Rohingya di arakan sudah dimulai sejak
adanya perjanjian penyatuan etnis di Myanmar pada tahun 1947 dalam rangka
menyongsong kemerdekaan Myanmar tahun 1948, dimana saat itu etnis Rohingya
tidak ikut dilibatkan dan tidak ikut menandatangi Perjanjian Persatuan
tersebut.
”Bagaimana, apakah adik-adikmu sudah
kau beri makan?” Tanya paman Zaw disela-sela kesibukannya memperbaiki gubuknya.
“Allhamdulillah sudah Bakhye,
sekarang mereka sedang tidur, sudah berjam-jam mereka menangis.” Jawab Farid
yang sedang membantu Paman Zaw.
“Lebih bersabarlah dalam menjalani
cobaan Allah ini Farid, jangan terlalu kau ratapi kepergian Ayah dan Ibumu,
InsyaAllah mereka tergolong syahid.”
“Tapi…. terkadang aku benar-benar
merasa geram dengan segala perbuatan pemerintah Myanmar Bakhye, bukannya
melindungi, malah sama kejinya dengan kaum Budhist itu.” Kalimat terlontar
dengan tatapan kosong Farid.
“Pemerintah Myanmar memang sudah
terang-terangan menyatakan etnis kita tidak termasuk etnis Myanmar, dengan kata
lain, kita sudah tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, mau tak mau segala
siksaan harus kita rasakan, sampai sekarangpun bantuan nyata dari Negara lain
belum ada, seakan mereka menutup mata atau memang ditutupipun Bakhye tidak
tahu.”
Sejenak mereka saling menatap kosong
”Sebenarnya ada yang mau Bakhye
katakan padamu Farid.” Sambung Bakhye Zaw setelah menghentikan sejenak
pekerjaannya.
“Apa Bakhye?” Tanya Farid dengan
heran menggumpal di benaknya.
“Bakhye dan beberapa penduduk lain
besok akan pergi dari tempat ini, kami memutuskan untuk keluar dari Myanmar,
terserah kemana yang penting lepas dari segala bentuk penindasan, biar
bagaimanapun kita harus hijrah demi keselamatan kita, terlebih demi keselamatan
etnis kita.” Jelas Bakhye dengan nada serius.
“Kita keluar dari Myanmar? Tapi
tetap tidak ada jaminan kita bisa hidup tenang, kita belum tahu tujuan, kita
akan tekatung-katung di laut lepas, kalaupun kita terdampar di negeri orang,
kita tidak lantas mendapat perlakuan baik, banyak dari kita akan dijadikan
budak Bakhye.”
“Itu lebih baik ketimbang terus
menerus ditindas seperti ini, sudah lebih dari 4000 pemukiman yang mereka
hancurkan dalam sekali serangan, belasan tempat ibadah kita juga tidak luput
dari kekejaman mereka, walau Bakhye telah mengikhlaskan, tapi masih nyaring
terdengar di telinga, suara jeritan anak dan istri Bakhye ketika dibakar
hidup-hidup oleh mereka, melawanpun kita tidak punya kekuatan, datanglah besok
selesai Shalat Shubuh, pikirkan keselamatan adik-adikmu.” Tutup Bakhye setelah
menyuruh Farid untuk pulang.
***
Sudah
5 hari perahu kecil itu terapung di atas lautan tanpa tujuan, perahu yang
seharusnya hanya berkapasitas 10 orang
pada akhirnya hanya mampu bungkam menampung 37 orang, persediaan makanan sudah
tidak ada sama sekali, 3 hari lalu mereka tertangkap oleh tentara angkatan laut
Myanmar yang menjaga perbatasan, seperti biasa, mereka digiring kepulau
terpencil terdekat, lalu semua bahan makanan seadanya hasil patungan penduduk
yang menumpang perahu diambil habis oleh tentara Myanmar, tidak cukup sampai
disitu bahan bakar perahupun tidak luput dari objek jarahan, setelah itu mereka
kembali dilepas kelaut, dengan tujuan akan mati secara perlahan-lahan di atas
laut, tanpa makanan dan tanpa bahan bakar mesin perahu. Kembali pecahlah
tangisan Nur Elhan dan Nur Bibi, merekalah penumpang paling muda dalam perahu
itu setelah Farid Alam memutuskan untuk ikut dengan rencana pamannya, berdiam
di tanah Myanmarpun hanya menambah luka yang menganga pikirnya.
“Bang, kita mau kemana? Bibi lapar.”
“Elhan juga bang, Elhan kangen Ibu
sama Ayah.”
“Bakhye, bagaimana ini?” Tanya
Farid, dengan raut wajah kalut.
“Bersabarlah, tenangkan adik-adikmu,
kita hanya bisa berharap dapat menemukan pulau untuk segera berlabuh dan
mencari bahan makanan.” Jawab salah seorang wanita tua penumpang perahu.
Belum tenang suara rengekan Elhan
dan Bibi, datang suara yang lebih mengejutkan, suara tembakan.
“Itu tentara Thailand, kita telah
masuk perbatasan Thailand.” Kata salah seorang penumpang pria.
“Merunduk..!!” Suara keras Bakhye
memberikan instruksi.
Seluruh penumpang perahu riuh
ketakutan, inilah sebenarnya yang ditakutkan Bakhye dalam perjalanan, setiap
kali imgran gelap Rohingya memasuki perbatasan Thailand, para tentara penjaga
tidak segan-segan melepaskan tembakan bertubi-tubi.
“Dorr!” Salah seorang penumpang
terkena tembakan tepat di dada sebelah kiri, membuatnya tumbang terkapar.
Disusul lima penumpang lain termasuk wanita tua tadi yang mayatnya langsung
tercebur kedalam laut.
“Farid, lindungi adik-adikmu.”
Perintah Bakhye
Nur Elhan dan Nur Bibi hanya bisa
meringkuk ketakutan, dan saat Nur Bibi mencoba melihat keadaan…
“Doorr!” peluru mengenai kepala
sebelah kanan Nur Bibi, tepat di matanya.
“Bibii…!” Farid menjerit keras
memeluk adiknya yang tidak bernyawa lagi.
“Farid, jaga Elhan..!” Bentak Bakhye
sembari terus mendayung perahu.
Belum sempat direngkuh, takdir telah
masuk waktunya, perut Nur Elhan terkena peluru tembakan, darah menyembur dengan
derasnya.
“Bang, Elhan rindu Ibu dan Ayah,
Elhan udah nggak lapar kok, Elhan duluan ya.” Kalimat terakhir mengalir dari
mulutnya ditemani darah yang keluar kental.
“Elhaan…!” suara keras Farid keluar
diimbangi dengan air mata yang deras mengalir.
Masih saja Farid memeluk kedua mayat
adiknya, tidak memperdulikan disekelilingnya telah banyak mayat bergelimpangan
penuh darah, termasuk mayat Bakhye Zaw yang lehernya telah tertembus peluru
sedari tadi.
Farid memutuskan untuk mendayung
perahu menjauh dari jangkauan tentara Thailand, sekelebat mata liar mencari
gagang dayung, hanya tinggal dia yang tersisa, digenggamnya dayung, dengan
tenaga seadanya Farid mulai mendayung, dan
“Dorr..!” bahu kirinya tertembak, ia
masih bisa mendayung dengan tertatih, ia tidak ingin adik-adiknya dimakamkan di
laut, ia terus mendayung, namun ternyata, malaikat maut telah duduk manis
menemaninya sejak keberangkatan dari Myanmar.
“Doorr, Doorr, Doorr..!” Tiga peluru
mengenai kepalanya.
Pria berkulit hitam dengan rambut
pendek, bertubuh tegap itu kini tidak bernyawa, 37 orang etnis Rohingya yang
mencoba mencari kedamaian dan kebahagiaan akhirnya berakhir di atas lautan.